Selasa, 11 September 2012

Robohnya Surau Kami


Berdialoglah Tuhan dengan Haji Saleh, seorang warga negara Indonesia yang selama hidupnya hanya beribadah dan beribadah…
“… kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kau biarkan orang lain yang mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal disamping beribadat. Bagaimana engkau bisa beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk disembah saja, hingga kerjamu lain tidak memuji-muji dan menyembahku saja. Tidak…..” (cerpen Robohnya Surau Kami)
Robohnya Surau Kami adalah salah satu cerpen paling terkenal dari sastrawan A. A. Navis. Terbit pertama kali pada tahun 1956, karya ini merupakan wujud kegetiran Navis akan masyarakat Indonesia yang dilihatnya pada jamannya, yang penuh dengan kekolotan dan kesempitan cara berpikir. Sarat dengan kalimat satir yang mengkritik kondisi masyarakat saat itu, cerpen ini secara kuat membawa kita bercermin dengan rendah hati dan membuat kita menundukkan kepala, berintrospeksi diri. Kritik dalam cerpen ini tentu berlaku bagi semua pemeluk agama, dan hal yang demikian dirisaukan Navis pada jamannya ternyata juga masih sering kita temukan sekarang, bahkan dalam kondisi yang makin parah. Tulisannya masih sangat relevan hingga saat ini, dan itulah salah satu kekuatan cerpen ini.
Cerpen Robohnya Surau Kami ini hadir bersama 9 cerpen A. A. Navis lainnya yang tergabung dalam buku kumpulan cerpen berjudul sama. Cerpen lainnya yang juga masih begitu terngiang di benak saya adalah yang berjudul “Penolong”, tentang penyesalan mendalam sang tokoh karena tidak melakukan apapun untuk memperbaiki situasi yang genting, padahal dia ada di sana dan dapat melakukan sesuatu. Hanya perlu kepekaan dan kesigapan bergerak, maka mungkin kondisi bisa sangat berbeda. Di akhir membaca cerpen itu saya menjadi terdiam, sekaligus ingin berteriak, ikut merasakan penyesalan sang tokoh. Ah sedemikian kuat pengaruh dari membaca suatu cerita pendek.
Keseluruhan cerpen yang tergabung dalam buku ini memiliki ketajamannya masing-masing, menyentuh sekaligus ironis. Namun jauh dari kesan ‘cengeng’, malah cenderung keras. Selalu menyentuh suatu aspek humanis dalam diri manusia, apakah itu rasa bersalah, harapan yang tampak konyol, kebanggaan yang berlebihan, penyesalan. Akhir dari cerpen-cerpennya selalu mengandung unsur yang tak terduga, yang membuat saya berpikir betapa piawainya penulis dalam merangkai plot cerita. Semuanya pun disampaikan dengan bahasa yang sangat apik, lugas sehingga tidak membosankan. Kita juga belajar beberapa kata-kata lama yang sudah sangat jarang kita temukan lagi dalam teks saat ini, salah satunya adalah kata “renyai hujan”. Juga kita mengecap suasana ‘tempo dulu’ di jaman cerpen-cerpen ini dibuat, dimana hidup masih berjalan dengan sederhana dan teknologi belum serumit sekarang.
Ali Akbar Navis lahir pada tahun 1924 di Padang Panjang, Sumatera Barat. Selain bergerak di bidang pendidikan, ia juga berkiprah di jawatan kesenian dan kebudayaan Propinsi Sumatera Tengah di Bukittinggi. Beberapa karya-karyanya yang lain antara lain: Hujan Panas (1964), Kemarau (1967), Alam Terkembang Jadi guru (1984), dan Bertanya Kerbau pada Pedati (2002). A. A. Navis meninggal dunia pada tahun 2003 di usia 78 tahun.
Terima kasih kepada Gramedia yang telah menerbitkan kembali kumpulan cerpen warisan literasi ini dalam bentuk yang sangat nyaman dibaca dan sangat terjangkau.
Detail buku: Robohnya Surau KamiA. A. Navis/ Kumpulan Cerpen/ Gramedia Pustaka Utama/ 2010/ Bahasa Indonesia/ 138 hlm.

Tak Putus Dirundung Malang By S. Takdir Alisjahbana

                   


Penerbit : Dian Rakyat  Tebal : 177 Halaman
Huaaa.. Betapa saya ingin lebih terbiasa membaca bahasa indonesia klasik seperti dalam novel ini. Dan jadi teringat betapa sulitnya mencari novel2 klasik indonesia ketika sedang butuh2nya di jaman SMP. Di pelajaran bahasa indonesia kan sering disebut2 tuh novel2 klasik Indonesia. Sebagai bookaholic (ya dari jaman smp juga saya udah menderita sindrom bookaholic) rasanya ngga mantep kalo ngga baca buku2 tenar itu. Tapi kemana pun dicari di toko2 buku di Bandung ketika itu, wujudnya ngga pernah saya temuin.
Kalo sekarang sih udah banyak yang diterbitin ulang dan beredar di toko2 buku umum. Koleksi novel klasik saya kebanyakan dibeli di satu-satunya toko buku yang ada di kota Indramayu, beberapa tahun yang lalu waktu saya tinggal disana.
Tentang isi buku Tak Putus Dirundung Malang ini sendiri. Duh, isinya betul2 cocok dengan judulnya. Alkisah seorang bapak dua anak bernama Syahbuddin pada saat itu tinggal di hulu sungai Ketahun dalam keadaan yang memprihatinkan. Beberapa waktu sebelumnya Syahbuddin adalah seseorang yang memiliki hidup yang termasuk lengkap. Beliau memiliki rumah di Negeri Ketahun, beliau memiliki keluarga kecil yang bahagia dengan istri dan dua orang anaknya.
Sampai suatu saat api melalap rumah Syahbuddin. Setelah itu cobaan demi cobaan datang bergantian menimpa keluarganya. Istri Syahbuddin meninggal, kemudian mereka jatuh bangkrut dan harus pindah ke sebuah daerah sepi di hulu sungai Ketahun. Disana Syahbuddin bekerja keras mengerjakan apa saja demi menghidupi kedua anaknya, Mansur si anak sulung dan adiknya Laminah.
Karena bekerja terlalu keras akhirnya Syahbuddin jatuh sakit. Hari demi hari semakin parah, dan pada suatu malam Syahbuddin menghembuskan nafas terakhirnya. Meninggalkan Mansur dan Laminah menjadi sepasang anak yatim piatu.
Dan siapa yang ngga akan kagum dengan bahasa indah S. Takdir Alisjahbana seperti ini :
“Waktu adalah sebagai raksasa yang besar, yang tak kunjung-kunjung berhenti berjalan, masuk rimba keluar rimba, masuk padang keluar padang. Disini menyeberang lautan, disana mendaki gunung menuruni lurah, tak pernah payah, tak dapat diusik, ditahan atau diganggu.
Pekertinya tak tentu; ada kalanya ia ganas; kejam; bersalah tak bersalah dirusaknya, dihancurkannya. Tapi ada pula masanya ia pengasih pengiba, halus dan lembut sebagai seorang Ibu. Apa yang dengan kejam dihancurkannya diribanya denan tangannya yang besar itu sehingga sempurna kembali.
Sungguh, isi dunia ini semua permainannya, disepakragakannya sekehendak hati; sebentar dihembuskannya ke udara dan seketika lagi dihempaskannya pula ke bumi.”
Mansur dan Laminah dititipkan pada bibi (adik perempuan Syabuddin) dan pamannya, Jepisah dan Madang. Pada mulanya Madang memperlakukan Mansur dan Laminah dengan baik. Namun periode itu berlangsung hanya sekejap. Madang kemudian memperlakukan Mansur dan Laminah dengan teramat buruk. Memaksa mereka berdua bekerja keras, bahkan tak jarang Madang memukul Laminah.
Sampai suatu hari Laminah secara tidak sengaja menyebabkan anak Jepisah dan Madang, Marzuki terluka karena menginjak pisau yang secara tidak sengaja diletakkan Laminah. Madang murka dan memukul Laminah di kepala hingga pingsan. Beruntung Mansur pulang tepat waktu dan segera mengungsikan Laminah ke tempat tetangga.
Laminah akhirnya tersadar. Lalu kedua kakak beradik itu memutuskan untuk pergi ke Bengkulu mengadu nasib. Tidak ada lagi yang dapat membuat mereka bertahan di Ketahun. Tiba di Bengkulu beruntung mereka menemukan pekerjaan dengan majikan yang baik di sebuah toko roti. Kakak adik itu akhirnya merasakan sepenggal hidup yang stabil. Namun akankah nasib berbaik hati pada mereka berdua. Ataukah mereka hanya diberikan waktu istirahat sesaat sebelum menghadapi kesusahan lainnya?
Huhu, saya gemas membaca betapa tidak berdaya nya Mansur dan Laminah menghadapi nasib. Ingin rasanya mengirimkan bala bantuan ke dalam buku untuk mencegah Mansur dan Laminah masuk dari satu kemalangan ke kemalangan lainnya. Dan saya bertambah gemas sama endingnya. Kenapa harus menyerah pada nasib? Kenapa tidak bangkit dan melawan?
“Apakah gunanya kita menyusah-nyusahkan hati. Asal sabut terapung, asal batu tenggelam. Takkan nasib itu diubah dengan air mata.”
Jleb.
Naaah who am I to judge something that I have no experience with? What I am saying is that there’s always a choice when fate knock us down.Either we give up or we rise and give ourself another try. Even though that the second option is not the easiest way. Once again, the choice is ours.
“Dunia terus berputar pada sumbunya. Sedikitpun tiada terasa olehnya kehilangan yang kecil, yang ‘tak sebesar tuma’.”
We are just a speck of dust in the desert..

Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk



Judul: Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk
Pengarang: Buya Hamka
Penerbit: PT Bulan Bintang, Jakarta, Juni 2004
ISBN: 979 418 055 6
Biasanya saya akan kecewa apabila saya membaca cerita roman atau cinta (yang dahulu dari beberapa novel terjemahan) atau tersenyum-senyum malu dan terkadang risih dari novel-novel teenlit yang sering dijual di toko-toko buku. Hingga akhir tahun kelas tiga SMA, saya tidak menyukai cerita cinta, kecuali apabila ada unsur fantasinya seperti kisah cinta dalam cerita Golden Compass.
Namun kali ini saya dihadapkan kepada kisah cinta yang dikarang oleh soerang ulama besar di Indonesia, seorang sastrawan yang sudah diakui akan kepiawaiannya dalam menuturkan kata-kata. Buku “Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk” ini adalah yang kedua kalinya saya baca beberapa hari yang lalu. Pertama kali saya baca buku ini adalah saat saya duduk di bangku sekolah menengah pertama, yang mana saya kira cerita ini akan menyajikan kisah penyelamatan korban dari kecelakaan kapal pesiar. Tapi saya kecewa karena ternyata ceritanya adalah sebuah kisah cinta yang penuh dengan kesedihan sehingga saya menghentikan membacanya di tengah-tengah buku. Barulah setelah menjadi mahasiswa, saya berusaha menamatkan membaca buku ini.
Buya Hamka, sastrawan dan ulama besar di Indonesia. 
Hasilnya adalah: saya berani mengatakan bahwa kisah cinta Zainudin dan Hayati (tokoh dalam buku ini) adalah kisah cinta yang romantis, sopan, dan sangat cerdas penyampaiannya.
Tidak perlu lagi saya menceritakan tentang si pengarang, Buya Hamka, karena dia adalah seorang tokoh besar yang seharusnya pembaca tahu. Akan tetapi apabila tulisan saya ini kurang memuaskan, anda bisa melihat biografi dari Buya Hamka di google atau wikipedia.
Kisah cinta dalam buku ini bermula ketika Zainudin, yang lahir di kota Mengkasar, pergi ke kampung bapaknya, yaitu kota Padang, Sumatera Barat. Zainudin dianggap sebagai anak terbuang. Karena apabila dia berada di Mengkasar, dia tidak diakui karena bapaknya adalah seorang Minang. Begitu juga apaila dia berada di Sumatera Barat, dia tidak diakui karena ibunya adalah seorang asing dari Mengkasar. Di kampung halaman bapaknya itu, Zainudin bertemu dengan pujaan hati, Hayati. Akan tetapi cinta mereka tidak sampai ke pelaminan disebabkan oleh hambatan budaya. Zainudin tidak mendapat izin dari ninik-mamak untuk meminang Hayati, yang mana Hayati dinikahkan dengan Aziz. Zainudin yang patah hati kemudian diserang penyakit sangat lama. Setelah sembuh, ditemani oleh seorang sahabat, Muluk, mereka kemudian berangkat ke Jawa untuk mengadu nasib. Zainudin kemudian menjadi seorang penulis terkenal dengan letter “Z”. Dia menjadi orang sukses di Jawa dan membentuk “kelompok anak sumatera”. Kemudian, di Jawa itu, dia betemu lagi dengan hayati dan Aziz. Akan tetapi Zainudin telah menjadi orang yang baik budi sehingga dendam dan sakit hati nya telah hilang sama sekali.
Singkat cerita, Aziz, suami Hayati, mati bunuh diri (penasaran? Anda bisa baca ceritanya dalam buku ini). Kemudian menyerahkan dan mengamanahkan Hayati kepada Zainudin. Namun Zainudin tidak berpikiran demikian, dia malah mengirim pulang Hayati ke kampung halaman di Sumatera Barat dengan kapal Van Der Wicjk. Kuasa Allah, kapal mengalami kecelakaan. Zainudin yang sesungguhnya masih memiliki cinta kepada Hayati, merasa bersalah. Kemudian dia menysul Hayati ke tempat posko penyelamatan, dan ditemuinya Hayati dalam keadaan yang sangat sekarat. Namun mereka masih sempat bertatap muka dan saling meminta maaf akan kesetiaan cinta. Cinta Zainudin dan Hayati dipersatukan kembali, namun tidak diridhoi oleh takdir. Hayati meninggal dengan menyebut dua kalimat syahadat. Sepeninggal Hayati, Zainudin membuat karya terakhirnya, dan setelah itu dia terkena penyakit yang menyebabkan dia meninggal pula, yang mana dia dikuburkan di sebelah kuburan Hayati.
Kuatnya rasa cinta antara Zainudin dan Hayati dapt kita lihat dari surat-surat yang ditulis Zainudin untuk kekasihnya, dan surat balasan dari Hayati untuk lelaki pujaannya. Dan dalam cerita ini juga, Buya Hamka memberikan pemikirannya tentang filsafat cinta itu sendiri. Perbedaan paham antara wanita dan lelaki. Cinta yang dikisahkan oleh Buya Hamka dalam cerita ini adalah cinta sejati yang didasarkan pada ketakwaan kepada Allah. Zainudin mencintai Hayati karena Allah, begitu juga dengan Hayati. Penyampaian rasa dan sayang-menyayangti tidak secara vulgar atau secara romantis seperti novel-novel teenlit atau roman picisan lainnya, tetapi dengan sangat sopan dan penuh makna. Ini lah kisah cinta yang cerdas, yang menyajikan tragedi, tetapi tidak mengundang air mata, melainkan memicu pemahaman kita akan makna cinta itu sendiri.
Satu hal lagi yang perlu diperhatikan dalam cerita ini adalah konflik budaya. Buya Hamka dengan cerdas mengemasnya dalam kisah cinta. Dia memadukan budaya Mengkasar dengan budaya dan adat-istiadat Minangkabau.
Kutipan di sampul belakang buku ini:
“TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WICJK melukiskan suatu kisah cinta murni di antara sepasang remaka, yang dilandasi keikhlasan dan kesucian jiwa, yang patut dijadikan tamsil ibarat. Jalan ceritanya dilatarbelakangi dengan peraturan-peraturan adat pusaka yang kokoh kuat, dalam suatu negeri yang bersuku dan berlembaga, berkaum kerabat, dan berninik-mamak.”
Dan disini saya katakan bahwa apa yang tertulis pada kutipan di atas adalah benar.
Buku ini saya sarankan kepada remaja-remaja yang sedang memadu kasih. Juga saya sarankan kepada semua penikmat cerita cinta dan cerita sastra. Cerita dalam buku ini hanya satu kata: BAGUS!

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites